Kepala Bappenas: Bencana lingkungan karena faktor iklim dan manusia

Jakarta – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menegaskan bahwa berbagai bencana lingkungan yang terjadi belakangan ini bukan hanya dipicu perubahan iklim, tetapi juga akibat kelalaian serta pelanggaran yang dilakukan manusia sendiri.

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam acara Peluncuran Dana Inovasi Teknologi dan Kajian Solusi Berketahanan Iklim yang digelar di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa.

“Beberapa hari terakhir kita kembali berhadapan dengan situasi yang berat. Bencana lingkungan terus berulang. Memang sebagian diakibatkan perubahan iklim global—climate change dan global warming—namun sisanya muncul karena masalah disiplin, ketidaktertiban, dan tindakan melanggar aturan yang dilakukan manusia,” ujar Rachmat.

Dalam pemaparan Bappenas, disebutkan bahwa sejumlah wilayah seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengalami bencana besar akibat hujan ekstrem yang memicu banjir bandang, banjir luas, serta tanah longsor. Hujan monsun dengan intensitas tinggi menjadi salah satu faktor utama, menyebabkan sungai meluap dan kawasan berbukit mengalami longsoran.

Bappenas mengingatkan bahwa tanpa kebijakan yang terarah dan cepat, kerugian akibat bencana akan terus meningkat dan memperdalam krisis iklim, sosial, serta lingkungan.

Data IPCC 2022 menunjukkan bahwa 50–75 persen populasi dunia berpotensi mengalami kondisi iklim ekstrem yang mengancam keselamatan manusia pada tahun 2100. Sementara itu, laporan UNFCCC 2022 mencatat polusi udara menyebabkan 4,2 juta kematian setiap tahun, menjadikannya salah satu pemicu terbesar kematian dini secara global.

Temuan IPBES tahun 2019 juga menyebutkan bahwa sekitar satu juta spesies tanaman dan hewan kini berada di ambang kepunahan. Lalu, laporan WMO 2024 menegaskan bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global melonjak hingga 1,55 derajat Celsius di atas era pra-industri.

“Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan keadaan generasi masa depan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga bagi banyak negara lain,” tegas Rachmat.

Ia menambahkan bahwa setiap keterlambatan dalam menangani isu iklim akan berimbas pada meningkatnya beban sosial dan ekonomi. Karena itu, peluncuran Innovation and Technology Fund (ITF) antara Indonesia dan Inggris menjadi langkah penting dalam memperkuat pembangunan hijau dan berketahanan iklim.

ITF merupakan skema pendanaan yang dirancang untuk mendukung penerapan pembangunan rendah karbon di tingkat provinsi.

Dalam acara tersebut, Bappenas bersama berbagai pihak juga memperkenalkan pembaruan Kajian Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) serta kajian mengenai dampak perubahan iklim terhadap perpindahan penduduk di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia.

“Semoga momentum ini menjadi dorongan bersama untuk terus mengembangkan inovasi dan teknologi demi meningkatkan ketahanan Indonesia menghadapi perubahan iklim,” tutup Rachmat.

Sumber : blibli99.id